Selasa, Agustus 26, 2008
Sirop Ramadhan Ayi
Suatu siang, anak-anak Emak sedang tidur siang. Emak sedang menyelesaikan setrikaannya.
Tiba-tiba...
"Kriing…!! Krriiiing….! Kriing…!! Krriiiing….!"
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam..”
“Eh…Ayi , kumaha damang?”
“Alhamdulillah ceu, sae.”
“Kumaha si orok?”
“Alhamdulillah, sehat..lagi apa ceu?”
“Ini..lagi nyetrika…kumaha-kumaha, aya naon iyeu teh?”
“Ah…ga ada apa-apa. Iseng aja pengen telpon. Kebetulan si orok lagi bobo. Kerjaan udah pada beres sama si bibi. Ga kerasa ya ceu…udah mau shaum lagi.”
“Iya, alhamdulillah. Mudah-mudahan masih dikasih kesempatan untuk mencicipi Ramadhan tahun ini.”
“Kok ngomongnya begitu?”
“Yaa…kita kan tidak tahu, sampai kapan jatah umur kita…”
“Ceuceu kan masih muda…”
“Yaa…siapa tahu?”
“Ceu…”
“Kenapa yi…?”
“Udah punya apa buat Puasa?”
“Emmm….apa yaa? Udah punya bekal semangat untuk menyambut Ramadhan ..Sabtu kemaren ceuceu jadi moderator di acara menyambut Ramadhan.”
“Mending… Ayi mah belom punya sirop-sirop acan…”
“Ha-ha-ha… bekel itu maksudnya? Yang gituan mah emang belom nyiapin… bukan ga ingin, kemarin agak kekuras sama keperluan nyekolahin anak…”
“Meni sakit hati Ayi mah… Baru rasanya ngadepin Ramadhan gak punya persiapan apa-apa. Biasanya mah udah nyetok sirop, gula merah, kurma…Sekarang? Boro-boro! Bahkan beras sampe akhir bulan ini aja ngepas-ngepas…! Ceu…bisa pinjem duit gak?”
“He-he-he… bukannya ngeledek yi. Eceu juga sama…lagi deg-deg plas…! Cuma, eceu sekarang udah rada tenang, gak deg-deg plas lagi. Alhamdulillah jadi moderator kemaren di acara menyambut ramadhan. Jadi tercerahkan… intinya mah, ramadhan itu yang penting adalah usaha kita untuk menyucikan diri, beribadah sungguh-sungguh, sabar, mengharap ampunan Allah…”
“Aaah….si eceu mah! Masa dipepende yang begituan bisa tenang sih? Yang membuat hidup kita tenang mah, ceu, Cuma kecukupan materi! Pusing Ayi mah…dikasih ku si akang pas-pas an. Cicilan ini itu, tagihan listrik dan telepon, sisanya? Buat beli daleman aja gak cukup!”
“Astaghfirullah… Ayi istighfar..”
“Ayi mah gak semangat pokoknya ramadhan sekarang mah… Kalo ayi masih tinggal sama ambu dan abah mah..kayaknya gak akan gini-gini amat…Cuma sekarang kan ayi udah nikah…gak mungkin minta-minta terus sama ambu dan abah…”
“Jadi gimana atuh…?”
“Ya gitu… Ayi teh butuh pinjeman uang…”
“Aduh Ayi punten pisan…eceu bener-bener lagi kosong…”
“Ya udah lah…susah ya. Punya temen teh gak bisa diandelin… Mau pinjem uang malah diceramahin.. ya jaka sembung naik kuda…gak nyambung da…”
“Terserah Ayi mau marah sama eceu… Eceu Cuma mau pesen, jangan sampe Ramadhan Cuma sibuk sama persiapan persiapan seputar perut dan baju baru… Lebih baik kita menyiapkan diri kita untuk beribadah di bulan Ramadhan… Ayi masih ingat kan? Di bulan Ramadhan itu ada Malam ‘lailatul qadar’, ada ampunan Allah, ada pahala yang berlipat, ada…(emak belum selesai bicara, dipotong)...”
“aah..udahlah! ga ada uang bilang aja ga ada uang…pake belaga nasehatin segala… udah ya! Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam”
Emak termenung… sedih
Sedih karena tidak bisa membantu kesulitan sahabat yang kesusahan…
Sedih karena tidak bisa membukakan mata hati sang sahabat tentang makna hakiki bulan Ramadhan
Terselip doa bagi sang sahabat..
Yaa Allah, berikanlah rizki yang halal dan thoyib untuk keluarga ayi khususnya
Tunjukkanlah jalan terbaik bagi kehidupannya..
bukakan mata hati pikiran dan perasaannya..
Sehingga Ayi menyadari makna hakiki dari bulan ramadhan.
Sehingga Ayi dapat mensyukuri segala nikmat yang telah Engkau berikan padanya.
Jangan Engkau biarkan Ayi hanyut dalam sungai kapitalisme yang begitu derasnya…
Ijinkan hamba mengulurkan segenap tenaga dan pikiran…
Agar ia tak hanyut dan jatuh ke jalan yang tak Kau sukai..
Jumat, Agustus 08, 2008
WALKOT IDAMAN: Dimanakah Engkau Berada?
Piwalkot menjelang Bandung. Kota yang dulu terkenal dengan sebutan kota kembang ini tak lama lagi akan memiliki walikota baru, atau paling tidak memperpanjang SIM (surat ijin memimpin) walikota lama. Maklumlah, dari 3 pasang calon walikota, satu diantaranya adalah Pak Dada Rosada yang kini menjabat walikota Bandung. Jadi, Bandung belum tentu memiliki walikota baru, jika Pak Dada masih "dipercaya".
Kamis, 7 Agustus 2008 kemarin di TVone terjadi debat seru antara ketiga pasang calon. Ya, biasa, berbagi informasi seputar program dan janji-janji yang akan membuat rakyat berkenan memilih mereka. Acara itu tentunya konsumsi para 'intelektual', orang-orang yang mau dengan objektif mendengar apa rencana mereka dan apa upaya mereka menangani masalah-masalah di Bandung yang banyaknya gak tanggung-tanggung.
Ada yang menarik tentang piwalkot kali ini. Di kompleks tempat tinggal emak, ketika pilkada lalu dimenangkan oleh pasangan hade cukup telak, 50% dari keseluruhan pemilih yang datang ke TPS. Tidak ada kampanye yang dilakukan oleh salah satu pasangan cagub saat itu. Namun untuk piwalkot sekarang ini, suasana di kompleks emak cukup hangat, kalau tidak boleh dibilang panas. Bagaimana tidak, Pak walkot datang ke kompleks emak disponsori oleh "masyarakat pecinta DS", untuk membagikan sembako. Penduduk kompleks bisa dibilang gengsi menerima bantuan sembako itu. Walaupun tipe rumah mayoritas tipe 36, tapi tidak terbiasa menerima sesajen sembako. Maka penduduk kampung yang letaknya menempel dengan kompleks emak pun ketiban rezeki. Pulang membawa sejumlah sembako cukup buat paling tidak 3 hari sampai satu mingguan. Pendukung cawalkot yang lain pun gerah. "Lihat, siapa yang main api duluan...." begitu diantaranya komentar salah seorang pendukung fanatik (baca: kader) pengusung cawalkot no 2. Maka mudah ditebak. Selang 2 minggu berikutnya, digelarlah ngobrol malam mingguan dengan cawawalkot di salah satu lapangan kompleks Emak. Sayang emak tidak tahu persis apakah memang acara itu sekadar ngobrol atau juga ada pembagian oleh-oleh bukti kadeudeuh awal dari sang cawawalkot. Kalau ingin bersaing, tentunya oleh-oleh yang dibagikan harus paling tidak sepadan dengan cawalkot sebelumnya, kalau tidak bisa melebihinya. Pak RW bilang, bahwa kompleks rumah emak harus terbuka dengan calon nomor manapun, dan warga RW nya harus dapat "menikmati" jamuan para cawalkot, terlepas dari siapa yang nanti akan terpilih. Tinggal cawalkot no 3 yang belum terdengar nyanyiannya di kompleks emak. Tapi secara pribadi, seorang kerabat menelpon, dengan pesan politis, "pilihlah no.3"...hahaha.. Ternyata semua memang sedang "berpacu dalam melodi".
Doa emak, mudah-mudahan ini bukan sekadar nyanyian politis yang hendak meninabobokan rakyat, atau menghipnotis rakyat, agar terpilih jadi walkot. Mudah-mudahan ada kesadaran di benak setiap cawalkot akan tanggung jawab berat yang kelak akan dipilkulnya ketika nanti terpilih. Semoga tidak ada pikiran korslet yang terselip di benak untuk mengembalikan "modal" kampanye yang tentunya jumlah nya berlipat-lipat kali dari uang yang biasa emak terima dari abah tiap bulannya. Satu hal yang emak harapkan, bahwa mereka akan jadi pemimpin yang memimpin dengan Islam. Walaupun tak satu pun dari mereka menyanyikan Islam di tengah kampanye ataupun leaflet yang disebar. Memimpin dengan Islam mudah diucap sulit dilakukan. Umar bin Khattab yang seringkali menjadi panutan dalam kepemimpinnnya dan dikutip oleh salah satu calon semboyannya semoga bukan sekadar untuk menarik massa Muslim hardliners dan sekadar lip service.
"Emak mau pilih yang mana?" begitu pertanyaan si teteh putri sulung emak.
Emak menjawab, "Sampai hari ini emak masih menelisik calon pemimpin yang kiranya akan menentramkan kita tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat, yang memimpin dengan Islam."
"Sudah selesai mencarinya, mak?" si teteh mendesak.
"Belum, masih mencari.." Emak menerawang
"Bagaimana jika belum dapet aja?" si teteh penasaran
Emak hanya tercenung, merenung, menerawang...apakah pilihan untuk memilih memang akan memperbaiki kota yang sangat dicintainya. Kota Bandung ini ibarat rumah yang hampir roboh bagi emak. Bahkan pondasinya pun perlu diperbaiki...Semoga ada pemimpin kota yang rela memperbaiki pondasi rumah emak ini sampai ke atapnya. Bukan sekadar memperbaiki atap yang bocor, dinding yang retak, jendela yang dimakan rayap dan cat yang mengelupas. Semoga...
Senin, Juli 28, 2008
ANTARA SERULING DAN PIANIKA: DILEMA EMAK DI TAHUN AJARAN BARU
Akhir-akhir ini emak dibikin pusing tujuh keliling (atau lebih?). Mengapa? Anak pertama emak yang sudah kelas 3 SD ini banyak banget tuntutannya. Kalau dulu pernah dikenal TRITURA--Tri Tuntutan Rakyat, kali ini mungkin PANTURA--emPAt jeNis TUntutan muRid kelas tigA. Apa saja? Ketika liburan kenaikan kelas menjelang, tuntutan pertamanya adalah belikan seragam baru. Berhubung seragam lamanya sudah pungsat dan ngatung. Tuntutan pertama mulus dipenuhi. Tuntutan keduanya adalah belikan sepatu baru. Karena dianggap penting, sepatu pun alhamdulillah terbeli. Tuntutan ketiga masih berhubungan dengan sekolah dan emak pikir ini adalah tuntutan terakhir seperti halnya Tritura: belikan buku pelajaran sekolah dan LKS. Demi menghemat pengeluaran, emak sengaja beli buku di Palasari. Lumayan, dari duaratus ribu yang harus dibayarkan dapat korting dua lima persen alias 50rebu an. Maka emak pun menarik napas lega, karena semua tuntutan telah terpenuhi. Namun ternyata, di hari pertama sekolah, si teteh ini masih punya tuntutan lain: belikan pianika. (tahu kan?) emak pikir, pianika bisa dibeli dengan selembar uang biru bernilai 50ribu. Namun usut punya usut, pianika ini konon kata bu guruya berharga 200ribu tuk merk yamaha. Waduh! Tuntutan ke empat ini tidak terlalu dianggap penting oleh emak. Namun si teteh terus merengek dan memelas.. Karena pelajaran SBK (seni budaya dan kebudayaan) ini jadwalnya hari senin ini, maka si abah "terpaksa" meluncur ke toko Buku Karisma di Bubat demi terpenuhi tuntutan si Teteh. Sebelumnya, si teteh sudah di'lobby' untuk tidak memaksakan diri membeli pianika, dengan menggunakan seruling diatonis merk yamaha punya emak yang disimpan rapi di rumah nini. Sayangnya, di teteh terlanjur 'give up' duluan memainkan seruling ini mengingat tingkat kesulitan yang cukup lumayan. Suling nya jadi silung terus.. Dihitung-hitung, pengeluaran buat tahun ajaran baru ini memang mengejutkan: 3 pasang seragam baru sekitar 200ribu, sepatu 100ribu, buku dan LKS 300ribu!! (untuk satu orang anak SD!) Jadi kalau dijumlahkan sudah 600 ribu... padahal si teteh ini sekolah di sekolah negeri. Bisa dibayangkan anggaran yang harus disiapkan untuk sekolah swasta pasti berlipat! Bener juga kalau adan ungkapan: orang miskin dilarang sekolah. Karena walaupun SPP bulan Juli yang 16 ribu tidak juga ditagihkan sekolah kepada emak sampai tulisan ini dibuat, pengeluaran di luar SPP lebih dari 10 kali lipatnya... Kapan yaa ada pendidikan yang tidak membebani?? Kalau situasi kapitalistik seperti sekarang kayaknya ga mungkin. Kecuali kalau situasi berubah: ada kesadaran pemerintah mengurusi rakyat dengan sebaik-baik pengurusan, bukan sekadar kesadaran untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga sendiri. Ingat dong pak, Imam itu harusnya bisa jadi pelindung, bisa bertanggung jawab sama rakyatnya. Jangan cuma manis mulut pas kampanye, tapi lupa daratan kalau sudah berada di lautan kekuasaan... Astagfirullah...
Minggu, Juni 01, 2008
Saatnya Peduli Ibu dan Generasi
Kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu yang tak tergantikan oleh siapapun ini, bahkan sudah menjadi trend di negara maju sejak lama. Di Amerika (yang sering menjadi barometer penggiat Feminisme), gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak.
Mula-mula muncul Moms Offering Mom Support Club yang berdiri sejak 1983. Lalu Yayasan Mothers at Home yang berdiri 1984, Mothers & More tahun 1987 dan masih banyak lagi. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah public terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah pada tahun 2004 (Republika, 16/12/04). Sayang, gaungnya ditenggelamkan oleh jargon yang didengungkan oleh para aktivis perempuan. Entah tidak mengapa, adanya titik balik perjuangan kaum Feminis internasional yang terbukti telah gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan tidak dijadikan pelajaran bagi Feminis di tanah air untuk merevisi gerakannya.
Akibatnya, Feminis di tanah air masih juga dengan lantang mengajak kaum ibu untuk berbondong-bondong keluar rumah dan mencari eksistensi diri di ruang publik. Dengan dalih kemandirian, khususnya kemandirian ekonomi, kaum perempuan dipaksa meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu, pengatur rumah tangga sekaligus pendidik anak-anak.
Betapa tidak, kini lebih banyak anak-anak yang dibesarkan di Tempat Penitipan Anak (TPA), play group, kindergarten dan sejenisnya. Anak-anak tumbuh berkat sentuhan baby sitter dengan imbalan rupiah yang menggiurkan, bukan di tangan ibunya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan serta gratis. Maklum, ibu yang semakin sibuk hanya punya waktu akhir pekan saja untuk memperhatikan buah hatinya. Itupun kalau tidak ada PR dari kantor atau tidak dinas ke luar kota.
Ibu-ibu juga semakin merasa benar dan tenang keluar rumah karena diperkuat oleh apologi yang salah kaprah, seperti “saya bekerja kan juga demi anak” atau “yang penting kan kualitas, bukan kuantitas.”Ah, benarkah anak-anak yang masih kecil-kecil itu mereka tanya dan memang menghendaki ditinggal ibunya? Juga, benarkah kualitas dapat dicapai tanpa memperhatikan kuantitas? Sebuah asumsi yang layak diperdebatkan kebenarannya.
Potret Buram Anak
Terabaikannya peran ibu sebagai pelahir generasi dan pendidik utama anak-anak, telah melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak. Memang, terabaikannya peran ibu bukanlah “penyebab” tunggal, karena ada faktor sistemik seperti lingkungan dan negara yang berpengaruh. Namun fakta membuktikan, banyak anak-anak “gagal” lahir dari sebuah rumah tangga dimana tidak ada figur sentral sebagai pendidik.
Ketika kedua orang tua sama-sama sibuk mencari nafkah, ketika seorang ibu mengalihkan tugas pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya kepada pihak lain, lahirlah generasi-generasi bermasalah yang haus akan kasih sayang. Ya, kepribadian anak-anak dewasa ini cenderung labil, semakin tidak cerdas dan bahkan cenderung liar.
Kasus bunuh diri pada anak-anak, bahkan balita adalah contohnya. Selanjutnya anak-anak banyak yang terlibat seks bebas, narkoba, hamil di luar nikah, aborsi, hingga tindak kriminalitas. Bayangkan, di Kediri anak usia 12 tahun membunuh balita berusia 4 tahun. Dari mana inspirasi membunuh itu ia peroleh? Apakah orang tuanya mengajarkan? Tentu tidak.
Semua itu terjadi karena anak-anak kurang mendapatkan pelajaran dari orang tuanya, khususnya ibu. Sementara banyak sekali “pelajaran” yang ia serap dari mana saja, khususnya di luar rumah. Anak yang belum sempurna akalnya itu, sejatinya membutuhkan bimbingan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah. Ironisnya, ”bimbingan” itu mereka serap dari sumber yang salah. Entah dari teman-teman, artis idolanya, majalah, buku atau bahkan televisi.
Kembalikan Fungsi Keluarga dan Ibu
Ketika lahir, seorang anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan amat tergantung pada orang yang terdekat dengan dirinya. Dan, idealnya orang terdekat itu adalah ibunya. Menurut Neuman (1990) usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship. Dalam pandangan ahli social learning maka apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan kasar dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku manusia muda tersebut.
Begitu penting peran keluarga khususnya ibu dalam membentuk karakter anak sejak dini bahkan sejak ia di dalam kandungan. Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Keluarga pulalah wadah dimana anak dapat menerapkan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, maupun di institusi keagamaan. Mengentaskan anak-anak bermasalah harus dimulai dengan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama.
Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.
Penutup
Bangsa ini sedang mengalami krisis rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM). Semua menyadari itu. Bahkan semua sepakat –termasuk negara— akan pentingnya melahirkan generasi-generasi yang berkualitas, baik dari sisi pendidikan, sain maupun moral. Generasi seperti itu hanya bisa terwujud dengan memberikan ruang yang nyaman bagi kaum ibu untuk mendidik anak-anaknya, khususnya pada usia dini. Sebab pada usia kritis inilah masa depan anak ditentukan. Untuk itu negara harus memberikan support demi keberlangsungan peran dan tugas kaum ibu. Inilah saatnya untuk peduli ibu dan generasi!(*)
Peminat masalah anak-anak, remaja dan wanitaMemuliakan Anak Perempuan
Memuliakan Anak Perempuan
Oleh : Aris Solikhah”Barangsiapa mempunyai anak perempuan, tidak dikuburkannya anak itu hidup-hidup, tidak dihinakannya, dan tidak dilebihkannya anaknya laki-laki dari perempuan itu, maka Allah memasukannya ke dalam surga dengan sebab dia.” (HR Abu Dawud). Di masa Rasulullah, ada seorang ibu miskin membawa kedua putrinya ke hadapan Aisyah. Aisyah kemudian memberinya tiga kurma. Ibu miskin ini membagikan masing-masing satu kurma untuk anaknya dan sisanya untuk dirinya. Kedua anaknya makan dengan sangat lahap. Ketika sang ibu hendak memakan kurmanya, tiba-tiba kedua anaknya mencegahnya. Melihat kedua putrinya masih lapar, ibu miskin itu tidak memakan kurmanya dan malah membagi kurma menjadi dua bagian untuk masing-masing anaknya.
Aisyah mengadukan hal ini pada Rasulullah yang lalu bersabda, ”Barangsiapa yang ada padanya tiga orang anak perempuan dia bersabar dalam mengasuhnya, dalam susahnya dan dalam senangnya, dia akan dimasukkan Allah ke dalam surga, karena rahmat Allah terhadap anak-anak itu.”
Seorang laki-laki kemudian bertanya, ”Bagaimana kalau hanya dua, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dan berdua pun begitu juga.” Datang pula seorang laki-laki bertanya, ”Bagaimana kalau hanya satu orang?” Beliau menjawab, ”Satu orang pun begitu juga!” (HR Al Hakim dari Abu Hurairah).
Dari hadis Rasulullah kita memahami betapa Islam sangat memuliakan anak perempuan. Seorang anak perempuan yang diasuh, dididik, dibina, diberikan penghidupan layak, tak dibedakan dengan anak laki-laki, tumbuh menjadi sosok solihah mampu membawa kedua orang tuanya ke surga.
Rasulullah secara khusus bersabda pada umatnya tentang keberuntungan anak perempuan dan memiliki saudara atau kerabat perempuan. ”Barang siapa yang mengeluarkan belanja untuk dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, atau kaum kerabat perempuan yang patut disediakan belanja untuk keduanya, sehingga keduanya diberi Allah kecukupan atau kemampuan, jadilah keduanya itu dinding (pelindung) dari neraka.” (HR. Ibnu Hibban dan At Thabrani).
Memang Islam sudah mengangkat harkat martabat perempuan, namun dalam pelaksanaannya di masyarakat, terkadang sebuah keluarga dianggap belum sempurna tanpa kehadiran anak laki-laki. Anak perempuan masih dipandang sebelah mata.
Menurut sebuah data, 1,4-2,1 juta perempuan Indonesia bekerja di luar negeri. Sering terdengar penganiayaan terhadap mereka. Belum lagi, sebanyak 240 ribu bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Saatnya menebar peduli bagi mereka.
Ibuku Guruku (Metode Home Schooling Group, Alternatif Model Pendidikan Anak Usia Dini)
Ketua Kelompok Peduli Ibu dan Generasi (el-Diina Pusat) dan Anggota Dewan Pakar ICMI Muda Pusat Bidang Pemberdayaan Perempuan
Hasil penelitian neurologi dan kajian pendidikan anak usia dini cukup memberikan bukti betapa pentingnya stimulasi sejak usia dini dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak guna mewujudkan generasi mendatang yang berkualitas dan mampu bersaing dalam percaturan dunia yang mengglobal pada milenium ke tiga ini. Di samping itu, Rasulullah SAW bersabda uthlubul’ilma minalmahdi ilal lakhdi yang artinya “tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
Hadits tersebut menekankan betapa pentingnya seseorang belajar sedini mungkin. Tentu kesadaran akan perlunya belajar sejak usia dini ini tidak muncul dari si bayi yang ‘belum bisa apa-apa’, namun dimulai dari kesadaran orang tuanya untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada anaknya sejak dini. Karena pada dasarnya, ketika seorang manusia telah terlahir ke dunia ini, ia telah dilengkapi berbagai perangkat seperti panca indera dan akal untuk menyerap berbagai ilmu.
Inilah peletak dasar pentingnya pendidikan usia dini. Sejak dini anak harus diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik anak pada usia ini ibarat membentuk ukiran di batu yang tidak akan mudah hilang, bahkan akan membekas selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan sangat membekas hingga anak dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini ini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan akses pelayanan pendidikan anak usia dini terus dilakukan, namun data membuktikan dari 28 juta anak usia 0-6 tahun, sebanyak 73 persen atau sekitar 20,4 juta anak belum mendapatkan layanan pendidikan, baik secara formal maupun non-formal. Khusus anak usia prasekolah, akses layanan pendidikan anak usia dini masih rendah (sekitar 20.0%). Artinya sebanyak 80.0% lainnya belum terlayani di pusat-pusat pendidikan anak usia dini. Kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan juga terjadi (Jalal 2002). Hasil yang serupa juga ditemui pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliana dkk. di penghujung tahun 2004 dan awal tahun 2005 di Pulau Jawa, bahwa sebagian besar (86.3% di pedesaan dan 73.2% di perkotaan) anak usia prasekolah belum mengakses program-program pendidikan yang ada baik di jalur formal maupun non formal.
Penyebabnya karena masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan khusus untuk usia dini. Selain itu mahalnya biaya pendidikan, semakin menyulitkan anak-anak untuk mendapatkan kesempatan belajar, terutama untuk anak usia dini. Masyarakat secara umum tidak mampu menjangkaunya. Sebagai contoh ada sekolah di Jakarta menarik uang pendaftaran untuk jenjang prasekolah Rp 15 juta di luar uang bulanan Rp 1 juta. Dengan biaya sebesar itu tentunya hanya anak-anak dari kalangan tertentu saja yang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang ”bermutu”.
Padahal keberlangsungan pendidikan untuk anak usia dini, tidak harus dilakukan dengan memasukkan mereka ke dalam lembaga pendidikan. Ibu, adalah SDM yang sangat berpotensial untuk menjadi guru bagi anak-anak usia dini. Ibu memiliki interaksi kuat dengan anak, karena dialah orang yang pertama kali menjalin interaksi; memahami dan selalu mengikuti seluruh aspek tumbuh kembang anak tanpa ada yang terlewat. Ibu adalah orang pertama yang menjadi teladan bagi anak, karena ialah orang terdekat anak. Ibulah yang mampu menerapkan prinsip belajar untuk diterapkan, karena ia yang paling banyak memiliki waktu bersama anak. Ibu adalah yang paling berambisi menyiapkan anak yang sholeh, karena baginya hal tersebut menjadi investasi terbesar untuk akhirat. Akhirnya, memang hanya ibu yang memiliki peluang terbesar mendidik anak dengan penuh ketulusan, kasih sayang dan pengorbanan yang sempurna.
Peluang Ibu menjadi guru bagi anak-anak usia dini sangat besar sekali. Masih banyak Ibu-Ibu yang ada di negeri ini tidak bekerja dan mengurus anak-anaknya secara langsung. Bila Ibu yang menjadi guru maka biaya pendidikan yang dikeluarkan tidaklah besar, karena Ibu dalam menjalankan perannya sebagai pendidik dilakukan di dalam rumah dengan waktu yang disesuaikan dengan kondisi anak dan Ibu. Berbeda dengan memasukkan anak ke dalam sekolah, mereka terikat dengan jadwal belajar tertentu. Ibu pun harus mengeluarkan biaya yang mahal. Menjadikan Ibu sebagai guru dan melaksanakan proses pendidikan dengan metode kelompok belajar bersama di rumah, itulah yang dijalankan dalam program Ibuku Guru Kami dengan metode home schooling group.
Mengapa pendidikan anak usia dini dilakukan di rumah?
Rumah merupakan lingkungan terdekat anak dan tempat belajar yang paling baik buat anak. Di rumah anak bisa belajar selaras dengan keinginannya sendiri. Ia tak perlu duduk menunggu sampai bel berbunyi, tidak perlu harus bersaing dengan anak-anak lain, tidak perlu harus ketakutan menjawab salah di depan kelas, dan bisa langsung mendapatkan penghargaan atau pembetulan kalau membuat kesalahan. Disinilah peran ibu menjadi sangat penting, karena tugas utama ibu sebetulnya adalah pengatur rumah tangga dan pendidik anak. Di dalam rumah banyak sekali sarana-sarana yang bisa dipakai untuk pembelajaran anak. Anak dapat belajar banyak sekali konsep tentang benda, warna, bentuk dan sebagainya sembari ibu memasak di dapur.
Anak juga dapat mengenal ciptaan Allah melalui berbagai macam makhluk hidup yang ada di sekitar rumah, mendengarkan ibu membaca doa-doa, lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dan cerita para Nabi dan sahabat dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan. Oleh sebab itu rumah merupakan lingkungan yang tepat dalam menyelenggarakan pendidikan untuk anak usia dini seperti yang dilakukan semasa pemerintahan Islam, bahwa pendidikan untuk anak-anak di bawah tujuh tahun dibimbing langsung oleh orang tuanya.
Al-Abdary dalam kitab Madkhalusi asy-Syar’i asy-Syarif mengkritik para orang tua dan wali yang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah pada usia kurang dari tujuh tahun. Ia mengatakan:“Dahulu para leluhur kita yang alim mengirimkan putera-puteranya ke Kuttab/sekolah tatkala mereka mencapai usia tujuh tahun. Sejak usia tersebut orang tua diharuskan mendidik anak-anaknya mengenal shalat dan akhlak yang mulia. Akan tetapi saat ini amat disesalkan bahwa anak-anak zaman sekarang menuntut ilmu pada usia yang masih rawan (4-5) tahun. Para pengajar hendaknya hati-hati mengajar anak-anak usia rawan ini, karena dapat melemahkan tubuh dan akal pikirannya”.
Metode home schooling group ini dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat karena dalam pelaksanaannya bersifat dinamis, dapat bervariasi sesuai dengan keadaan sosial ekonomi orang tua. Keterlibatan orang tua (ibu) dalam home schooling group sangat dominan dan jarak tempuh anak ke kelompok-kelompok home schooling dapat ditempuh anak dengan berjalan kaki (maksimal 1 km). Hal demikian menjadikan keunggulan dari home schooling (murah, ibu dekat dengan anak, dan dinamis). Mengapa harus dalam bentuk grup atau kelompok ? Hal tersebut bertujuan untuk menanamkan konsep sosialisasi pada anak, membangun ukhuwwah Islamiyah di kalangan Ibu disamping dapat meringankan beban ibu dan upaya memperbaiki lingkungan masyarakat
Kurikulum home shcooling group diharapkan dapat mencerminkan kegiatan untuk membangun kemampuan kepribadian anak dan kemampuan ilmu Islam/tsaqofah (mencakup materi aqidah, bahasa arab, Al-Qur’an, As-Sunnah, fiqh, siroh nabi dan sejarah kaum muslimin) dan membangun kemampuan keterampilan sainteks (kognitif, bahasa, motorik kasar, motorik halus, seni, kemandirian dan sosial emosional). Kegiatan tersebut dilakukan dengan metode pengajaran bermain sambil belajar melalui keteladanan, mendengar, mengucapkan, bercerita dan pembiasaan. Pendekatan pembelajaran dalam home schooling group haruslah berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak, kebutuhan anak, menggunakan pendekatan tematik, kreatif dan inovatif, lingkungan kondusif dan mengembangkan kemampuan hidup.
Peran Ibu sebagai pendidik pertama dan utama, tidak hanya dalam rangka mendidik anak-anaknya semata. Hal ini disebabkan, anak-anaknya berinteraksi dengan anak orang lain di lingkungannya. Anak kita membutuhkan teman untuk belajar bersosialisasi dan berlatih menjadi pemimpin. Kesadaran kita sebagai seorang muslim yang peduli dengan kondisi masyarakatnya akan menumbuhkan rasa tanggungjawab untuk turut mendidik anak-anak lain sebagai generasi penerus umat. Sehingga Ibu tidak cukup mendidik anak sendiri, tetapi juga perlu mendidik anak-anak lain bersama ibunya yang ada di lingkungannya.
Kesamaan visi dan misi dalam mendidik anak di kalangan orangtua sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan aktivitas belajar yang efektif dan efisien. Seringkali selama ini orang tua menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan pendidikan anak-anak (termasuk usia dini) kepada sekolah dan guru. Orangtua seharusnya menyadari bahwa kewajiban untuk mendidik anak tidaklah hilang dengan menyekolahkan mereka. Orangtua pun perlu mengkaitkan proses belajar di sekolah dengan di rumah sehingga target pendidikan dapat dicapai.
Menjadi guru bagi anak-anak usia dini, tidaklah berarti Ibu mendidik anaknya secara individual, namun dapat dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan para orangtua (Ibu) yang ada di sekitar lingkungannya menjadi team pengajar (guru). Sistem kelompok belajar dalam bentuk grup, selain menumbuhkan kebersamaan dan melatih anak dalam bersosialisasi juga menyuburkan persaudaraan dan kedekatan diantara orangtua sehingga memudahkan memberikan penyelesaian terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dari anak-anak tersebut. Dengan demikian anak-anak usia dini mendapatkan pelajaran dalam bentuk kelompok dan akan melanjutkan pelajaran mereka di rumah bersama ibunya masing-masingIbu Pencetak Generasi Unggul
Ibu adalah sekolah yang jika engkau telah mempersiapkannya berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa yang mempunyai akar-akar yang baik (M. Nashih Ulwan)
Belakangan ini kita sering dikejutkan dengan berbagai fenomena yang terjadi di kalangan anak-anak. Bukan hanya remaja, tetapi anak-anak SD bahkan TK yang masih ‘hijau”. Berjatuhannya korban-korban smackdown, dua di antaranya meninggal. Kebanyakan korban adalah anak SD dan TK. Ada pula anak-anak yang melakukan perbuatan nekat, mengakhiri hidupnya di usia yang begitu muda hanya karena masalah sepele. Belum masalah tawuran pelajar yang terus marak, dan narkoba yang menghantui anak-anak, bahkan anak SD sekalipun. Terakhir kasus Irfan, anak berusia 10 tahun yang tega mencekik dan mengiris-iris anak tetangganya yang masih TK. Penyebabnya hanya karena sakit hati sering diledek, sesuatu yang biasa terjadi di kalangan anak-anak.
Banyak di antara kita yang lantas bertanya-tanya, ada apakah dengan anak-anak kita? Bila kita kaji dengan cermat, pertanyaan ini sebenarnya salah alamat. Anak-anak kita adalah anak-anak yang sama dengan kita sewaktu masih anak-anak. Sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sama-sama selalu ingin meniru, dan sama-sama belum mampu membedakan mana realita, mana rekayasa.
Yang membedakan antara kita dan anak-anak kita sekarang adalah lingkungan yang tidak sama. Dulu di zaman kita tidak ada smackdown. Tidak ada sinetron cengeng yang mengajarkan bunuh diri sebagai solusi, tidak ada pula tayangan film sadis yang penuh dengan kekerasan. Dan terutama lagi, dulu kebanyakan kita masih didampingi oleh ibu.
Apa hubungannya dengan ibu? Ya, dulu ibu kita masih banyak punya waktu untuk mendidik kita, mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menunjukkan mana yang salah. Ibaratnya kita masih memiliki perisai yang melindungi kita dari berbagai hal buruk yang terjadi di sekitar kita.
Sekarang, anak-anak kita tidak memiliki perisai itu. Ibu-ibu saat ini lebih banyak yang menghabiskan waktu di luar rumah mencari uang. Atau kalaupun di rumah, ibu-ibu tersibukkan dengan berbagai tayangan televisi seperti sinetron, telenovela dan infotainment. Alih-alih anak dilindungi dari tayangan yang tidak mendidik, malahan anak-anak diajak ikut nonton, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi.
Peran Ibu
Berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu terakhir ini, terasa pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi. Bahkan beberapa pihak cenderung menganggap peran ibu mendomestikasi perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior, tersubordinasi peran suami.
Padahal, fakta membuktikan bahwa peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. Masa-masa 0 – 6 tahun bagi anak adalah masa keemasan pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia ini, otak anak terbentuk sampai 80 %, kecerdasan dan dasar-dasar kepribadiannya mulai terbentuk. Karena itu, masa ini membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang.
Pembantu atau pengasuh bayi tentu jauh dari kriteria itu. Tempat Penitipan Anak atau kelompok bermain yang diikuti anak juga tidak dapat memberikan stimulasi optimal. Tempat ini dirancang untuk menangani banyak anak, sehingga kebutuhan individu anak akan kasih sayang tidak terpenuhi seperti bila ibu yang intens mengasuhnya. Kasih sayang adalah salah satu makanan otak, yang membuat otak berkembang optimal selain gizi dan stimulasi.
Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam perkembangan kecerdasan emosionalnya. Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi kasih sayang kepada orang lain.
Berbeda dengan anak yang kekurangan kasih sayang. Mereka cenderung mengembangkan perasaan negatif, merasa tidak diterima sehingga penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah. Anak seperti ini akan cenderung menjadi anak tertutup, rendah diri dan menyimpan potensi gagal dalam kehidupannya.
Kasih sayang yang tulus dan berlimpah tentulah datang dari seorang ibu. Pemahaman yang utuh terhadap anak juga tentu datang dari ibu. Bila fungsi ibu terabaikan karena ibu harus keluar rumah, maka adakah fungsi ini akan tergantikan?
Mengambil Pelajaran dari Ibu Para Tokoh
Thomas Alva Edison, tentu kita semua mengenal nama ini. Dia adalah penemu besar yang memiliki ribuan hak paten. Namun tahukah anda bahwa dia hanya mengenyam dunia pendidikan formal hanya 3 bulan ?
Thomas Alva Edison dikeluarkan dari sekolahnya karena gurunya beranggapan ia terlalu bodoh untuk bersekolah. Ibu Edison tidak mempercayai hal tersebut. Dengan gigih ia didik sendiri Edison di rumah. Apa yang dilakukannya tidak sis-sia. Edison menemukan potensi terpendamnya sebagai seorang peneliti. Usia 10 tahun, ia telah memiliki laboratorium pribadi.
Lebih dari apa yang didapat Edison bila bersekolah, ibu Edison mengajarkan juga keuletan berjuang dan kemandirian. Di usia begitu muda, Edison berjualan koran untuk membiayai sendiri penelitian-penelitiannya. Bayangkan apa yang terjadi bila ibu Edison bersikap sama dengan gurunya. Mungkin listrik akan terlambat ditemukan. Dan itu berarti penemuan-penemuan yang terkait listrik juga akan terhambat.
Ibu Imam Syafi’i mewakili perjuangan ibu dari tokoh-tokoh agama. Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir. Ia membesarkan Syafi’i sendirian. Memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun Syafi’i sudah hafal Alquran. Guru-guru ia datangkan untuk mengajar Syafi’i, biarpun untuk itu ia harus bekerja keras untuk biaya belajar anaknya..
Tidak sedikit tokoh yang sukses karena peran seorang ibu di belakangnya. Mungkin nama para ibu ini tidak pernah tercatat dalam sejarah. Namun anak-anak mereka tercatat dengan tinta emas. Dan itu cukup menjadi bukti eksistensi ibu.
Dilema Ibu
Berperan sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun, ibu dihadapkan pada banyak tantangan.
Tantangan terbesar tentu faktor ekonomi. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, membuat para ibu turun tangan ikut bekerja.
Kondisi ini membuat anak-anak tumbuh tanpa kontrol dan pendidikan yang tepat. Tidak ada yang peduli apa yang ditonton anak dan apa yang dilakukan anak bersama teman-temannya. Orangtua hanya bisa terkejut saat anak ketahuan terlibat masalah serius atau menjadi korban. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, atau kasus kriminal.
Tantangan kedua adalah pengetahuan ibu terhadap pendidikan anak. Berapa banyak ibu yang hanya tinggal di rumah namun tidak mampu mendidik anak dengan baik. Ia tidak mengenal potensi yang dapat dikembangkan pada anak dan bagaimana mengembangkannya.
Lebih parah adalah ibu yang bekerja dan sekaligus tidak mampu mendidik anak. Ibu-ibu semacam ini tidak memiliki target dalam mendidik anak. Anak dibiarkan seperti air mengalir terserah mau jadi apa nantinya.
Kondisi ibu semacam ini tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan generasi unggul. Pemerintah seharusnya memiliki kepedulian yang besar dalam masalah ini. Bukankah generasi unggul yang dapat melepaskan bangsa ini dari krisis yang terus membelit? Apakah kita akan bertahan dengan berbagai kerusakan yang melanda bangsa ini ? Pepatah bahkan mengatakan bahwa pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang berhasil mencetak pemimpin yang lebih baik.
Selama ibu masih harus disibukkan dengan mencari nafkah, selama ibu masih tidak memahami pendidikan anak, selama itu pula generasi unggul tidak akan lahir. Bangsa kita akan terus terpuruk tidak mampu bangkit.
Tugas pemerintah adalah menjamin agar ibu bisa menjalankan peran keibuannya dengan sempurna. Bukan malah mendorong ibu untuk bekerja keluar rumah, bahkan keluar negeri dengan memberikan julukan pahlawan devisa. Itu sama artinya negara ini tengah menjual masa depannya.
Tugas negara pula untuk menjamin pendidikan para ibu. Pendidikan dengan kurikulum yang tepat. Agar para ibu tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya. Namun sesungguhnya, ibu punya tanggungjawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Maka, tidak salah kalau dikatakan perempuan adalah tiang negara. Bila tiang itu roboh, maka tunggulah waktu keruntuhan negara.
Dosen di beberapa PGTK di Bogor, trainer dan konsultan pendidikan anak.
BBM NAIK EMAK TERCEKIK
Hhhhm...